BABI
PENDAHULUAN
Pemikiran tentang integrasi atau
Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang dilakukan oleh kalangan intelektual
Muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara totalitas ditengah ramainya
dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan
sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju dapat menyusul menyamai orang-orang
Barat apabila mampu menstransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap
ilmu pengetahuan dalam rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan.[1]
Disamping itu terdapat asumsi bahwa
ilmu pengetahuan yang berasal dari negara-negara Barat dianggap sebagai
pengetahuan yang sekuler oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau
minimal ilmu pengetahuan tersebut harus dimaknai dan diterjemahkan dengan
pemahaman secara Islami. Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya merupakan hasil
dari pembacaan manusia terhadap ayat-ayat Allah swt, kehilangan dimensi
spiritualitasnya, maka berkembangkanlah ilmu atau sains yang tidak punya kaitan
sama sekali dengan agama. Tidaklah mengherankan jika kemudian ilmu dan
teknologi yang seharusnya memberi manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi
kehidupan manusia ternyata berubah menjadi alat yang digunakan untuk kepentingan
sesaat yang justru menjadi “penyebab” terjadinya malapetaka yang merugikan
manusia.[2]
Dipandang dari sisi aksiologis ilmu
dan teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia.
Artinya ilmu dan teknologi menjadi instrumen penting dalam setiap proses
pembangunan sebagai usaha untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia
seluruhnya. Dengan demikian, ilmu dan teknologi haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya
bagi kehidupan manusia dan bukan sebaliknya.[3]
Untuk mencapai sasaran tersebut
maka perlu dilakukan suatu upaya mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dengan
ilmu-ilmu keislaman, sehingga ilmu-ilmu umum tersebut tidak bebas nilai atau
sekuler. Pendekatan interdisciplinary dan inter koneksitas antara disiplin ilmu
agama dan umum perlu dibangun dan dikembangkan terus-menerus tanpa kenal henti.
Bukan masanya sekarang disiplin
ilmu-ilmu agama (Islam) menyendiri dan steril dari kontak dan intervensi
ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman dan begitu pula sebaliknya.[4]
Permasalahan yang penting diajukan adalah bagaimana mengintegrasikan atau
menyatukan ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum. Oleh karena itu penulis
memandang perlu mengangkat judul “Integrasi ilmi-ilmu keislaman dengan
ilmu-ilmu umum.
Filsafat alamiah yang mulanya
berasal dari luar Islam mendapat tempat tersendiri di dunia Islam karena memang
ajaran Al-Quran sendiri mendorong sepenuhnya pemikiran-pemikiran filosofis
terhadap kehidupan alam semesta. Bahkan kemudian kaum Muslimin mengembangkan
lebih jauh dengan melakukan berbagai penelitian dan observasi lapangan secara
langsung. Hasilnya melahirkan ilmu-ilmu fisika, biologi, kedokteran,
pengobatan, kimia, astronomi dan sebagainya.sederetan cabang ilmu pengetahuan
yang telah dikembangkan sebagai hasil dari perkembangan pemikiran dan
penelitian ilmiah dikalangan tokoh-tokoh pemikir Islam yang secara
berangsur-angsur pemikiran dan pengetahuan itu berpindah kedunia Barat. [5]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Integrasi Keislaman
Kamus Inggris Indonesia yang
ditulis John M. Echols dan Hasan Sadily menuliskan kata integrasi (integration)
berarti penggabungan, atau integrate yang bermakna menyatu-padukan. [6]
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, integrasi berarti pembauran hingga menjadi
satu kesatuan yang utuh atau bulat.
Integrasi ilmu agama atau keislaman
terhadap ilmu-ilmu umum sering digembor-gemborkan sebagai konsep yang tepat
dalam satuan pendidikan bahkan jenjang perguruan tinggi agama.[7]
Namun pengintegrasian ini secara konsep maupun operasionalnya belum terkupas
dengan jelas.
Ahmad Ramzy mengatakan bahwa
integrasi ilmu umum terhadap ilmu agama bisa dilakukan dengan mengekplorasi
Al-Quran dan Hadits untuk menjadikan landasan keilmuan.[8]
Mekanismenya adalah dengan mengkaji nilai-nilai Islam yang berkaitan ilmu-ilmu
umum atau persoalan-persoalan yang muncul dari persoalan budaya, social,
politik, ekonomi dalam rangka menciptakan ilmu yang koheren dengan ajaran agama
dan memberikan alternative kebenaran yang bukan hanya kebenaran empiris, tetapi
bermuara pada Quran dan Hadits, sehingga menjadi tolak ukur menilai kebenaran
atau kesalahan.
Dalam pandangan Etin, terdapat
beberapa alasan pentingnya integrasi ilmu umum terhadap agama karena:
1.
Dikhotomi ilmu umum dan agama telah
memarginalkan ilmu-ilmu agama yang notabene kajian utama pendidikan Islam mulai
dari madrasah hingga perguruan tinggi.
2.
Inferioritas kompleks dialami bukan
hanya oleh lembaga dan pendanaanya, melainkan oleh alumni dan mahasiswa
(pelajar) yang terkadang tidak diimbangi dengan kemampuan kompetensi yang cukup
untuk bersaing dengan lulusan umum.
3.
Kajian ilmu-ilmu agama saja telah
melahirkan ilmu yang kurang tanggap terhadap persoalan kekinian yang
menghinggapi umat Islam di level local, regional maupun global, seperti
korupsi, nepotisme, demokrasi dan isu-isu kontemporer lainnya.
4.
Adanya inferioritas methodology
ilmu agama dan kebiasaan memperlihatkan metode riset umum (Barat) sebagai
pendekatan yang tepat dalam memahami teks-teks keagamaan dan situasi masyarakat
Muslim.
Keislaman yang dimaksud dalam
kajian disini adalah nulai-nilai yang terkandung pada ajaran Islam
yangbbersumberkan kepada wahyu (Al-Quran dan As-Sunah). Nilai-nilai ini akan
dapat diyakini, difahami dan ditransfer untuk diamalkan oleh umat Islam kepada
generasi selanjutnya melalui usaha dan pendekatan pendidikan Islam.[9]
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT
kepada manusia untuk menjadi petunjuk dan menjadi pemisah antara yang hak dan
yang batil sesuai dengan firman-Nya dalam surat Al-Baqarah ayat 185, Al-Qur’an
juga menuntun manusia untuk menjalani segala aspek kehidupan, termasuk di
dalamnya menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Al-Qur’an menempatkan
ilmu dan ilmuan dalam kedudukan yang tinggi sejajar dengan orang-orang yang
beriman (QS: Al-Mujadilah: 11). Banyak nash Al-Qur’an yang menganjurkan manusia
untuk menuntut ilmu, bahkan wahyu yang pertama kali turun, adalah ayat yang
berkenaan dengan ilmu, yaitu perintah untuk membaca seperti yang terdapat dalam
surat Al-‘Alaq ayat 1-5. Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.
Dia diketahuinya.[10]
Disamping itu, Al-Quran menghargai
panca indra dan menetapkan bahwasanya indra tersebut adalah menjadi pintu ilmu
pengetahuan. (QS.Al-Nahl: 78) Syeikh Mahmud Abdul Wahab Fayid mengatakan bahwa
ayat ini mendahulukan pendengaran dan penglihatan dari pada hati disebabkan
karena keduanya itu sebagai sumber petunjuk berbagai macam pemikiran dan
merupakan kunci pembuka pengetahuan yang rasional.[11]
Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip
oleh Quraish Shihab mengatakan, bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang
terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua
bersumber dari Al-Qur’an Al-Karim. Namun Imam Al-Syathibi (Wafat, 1388
M), tidak sependapat dengan Al-Gazali.[12]
Dr. M. Quraish Shihab mengatakan,
membahas hubungan Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya
cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan
menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah. Tetapi pembahasan hendaknya
diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian
Al-Qur’an dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri. Tidak
perlu melihat apakah di dalam Al-Qur’an terdapat ilmu matematika, ilmu
tumbuh-tumbuhan, ilmu komputer dll, tetapi yang lebih utama adalah melihat
adakah jiwa ayat–ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya,
serta adakah satu ayat Al-Qur’an yang bertentangan hasil penemuan ilmiah yang
telah mapan?[13]
Kuntowijoyo mengatakan bahwa Al-Qur’an
sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang sangat besar untuk dijadikan sebagai
cara berpikir. Cara berpikir inilah yang dinamakan paradigma Al-Qur’an,
paradigma Islam. Pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang
berdasarkan pada paradigma Al-Qur’an jelas akan memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan. Kegiatan itu mungkin menjadi pendorong munculnya ilmu-ilmu
pengetahuan alternatif. Jelas bahwa premis-premis normatif Al-Qur’an dapat
dirumuskan menjadi teori-teori empiris dan rasional. Struktur transendental Al-Qur’an
adalah sebuah ide normatif dan filosofis yang dapat dirumuskan menjadi
paradigma teoretis. Ia akan memberikan kerangka bagi pertumbuhan ilmu
pengetahuan empiris dan rasional yang orisinal, dalam arti sesuai dengan
kebutuhan pragmatis umat manusia sebagai khalifah di bumi. Itulah sebabnya
pengembangan teori-teori ilmu pengetahuan Islam dimaksudkan untuk kemaslahatan
umat Islam.[14]
B.
Rekontruksi Ilmu Pengetahuan Islam
Dalam perkembangan keilmuan Islam,
terdapat pengelompokan disiplin ilmu agama dengan ilmu umum. Hal ini secara
implisit menunjukkan adanya dikotomi ilmu pengetahuan. Kondisi seperti ini
terjadi mulai abad pertengahan sejarah Islam hingga sekarang. Dalam konteks
Indonesia, dikatomi ilmu umum dan ilmu agama malah sudah terlembagakan.
Hal ini bisa dilihat dari adanya dua tipe lembaga pendidikan yang dinaungi oleh
departemen yang berbeda. Lembaga pendidikan yang berlabel agama di bawah
naungan DEPAG sedangkan lembaga pendidikan umum berada di bawah DEPDIKNAS.
Pandangan dikotomis terhadap ilmu
pengetahuan Islam seperti itu, tidak sesuai dengan pandangan integralistik ilmu
pengetahuan pada permulaan sejarah umat Islam. Ternyata pandangan dikotomis
yang menempatkan Islam sebagai suatu disiplin yang selama ini terasing dari
disiplin ilmu lain telah menyebabkan ketertinggalan para ilmuan Islam baik
dalam mengembangkan wawasan keilmuan maupun untuk menyelesaikan berbagai
masalah dengan multidimensional approach (pendekatan dari berbagai sudut
pandang). Oleh karena itu wajarlah jika dikotomi ilmu pengetahuan mendapatkan
gugatan dari masyarakat, termasuk gugatan dari para ilmuan muslim melalui
wacana Islamisasi ilmu pengetahuan.[15]
Muhammad Abid Al-Jabiry dalam Amin
Abdullah mengatakan: Adalah merupakan kecelakaan sejarah umat Islam, ketika
bangunan keilmuan natural sciences (al-ulum al-kauniyyah) menjadi
terpisah dan tidak bersentuhan sama sekali dengan ilmu-ilmu keislaman yang
pondasi dasarnya adalah “teks” atau nash. Meskipun peradaban Islam klasik
pernah mengukir sejarahnya dengan nama-nama yang dikenal menguasai ilmu-ilmu
kealaman, antara lain seperti Al-Biruni (Wafat, 1041) seorang ensiklopedis
muslim, Ibn Sina seorang filosuf dan ahli kedokteran, Ibn Haitsam (Wafat,1039)
seorang fisikawan, dan lain-lain.
Sayang perguruan tinggi Islam, yang
ada sekarang kurang mengenalnya atau mungkin sama sekali tidak mengenalnya
lagi, lebih-lebih perkembangan metodologi ilmu-ilmu kealaman yang berkembang
sekarang ini, yang sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu-ilmu
keislaman yang ada sekarang. Selain ilmuan-ilmuan muslim yang dikemukakan di
atas masih banyak ilmuan lain yang terkenal diantaranya, Abu Abbas al-Fadhl Hatim
an-Nizari (w-922) seorang ahli astronomi, Umar Ibn Ibrahim al-Khayyami (w.1123)
yang lebih di kenal dengan Umar Khayyam penulis buku aljabar, Muhammad
al-Syarif al-Idrisi (1100-1166) ahli ilmu bumi. Pada periode klasik Islam ini
(Abad VII-XIII) dijuluki The golden age of Islam, telah terjadi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ada beberapa faktor yang mendorong
kemajuan ilmu pengetahuan pada periode ini, yaitu:
- Agama Islam sebagai motivasi.
- Kesatuan bahasa yang memudahkan komunikasi ilmiah.
- Kebijakan pemerintah untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
- Didirikannya akademi, laboratorium, dan perpustakaan sebagai sarana pengembangan ilmu.
- Ketekunan ilmuan untuk mengadakan riset dan eksperimen.
- Pandangan Internasional yang membuka isolasi dengan dunia luar.
- Penguasaan terhadap bekas wilayah pengembangan filsafat klasik Yunani.
Pada periode klasik Islam
tidak terdapat dikotomi ilmu pengetahuan. Memang telah dikembangkan ilmu
pengetahuan yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis dan ilmu pengetahuan yang
bersumber dari alam dan masyarakat, tetapi masih berada dalam satu kerangka
yaitu pengetahuan Islam.[16]
Sesudah periode klasik ini, yaitu
sejak abad XIII, Ilmu pengetahuan Islam mulai mengalami kemunduran,
produktivitas ilmuan-ilmuan muslim sangat berkurang. Di dunia barat justru
terjadi sebaliknya, warisan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari dari Islam
dikembangkan, sehingga mengantar mereka mencapai dunia baru melalui pintu
gerbang renaissance, dan reformasi. Kondisi seperti ini mempengaruhi
struktur ilmu pengetahuan dalam Islam.
Ilmu pengetahuan yang dikaji dari
Al-Qur’an dan hadis yang dianggap sebagai ilmu pengetahuan Islam, sedangkan
ilmu pengetahuan yang bersumber dari alam, dan dari masyarakat dikeluarkan dari
struktur ilmu pengetahuan Islam. Dengan demikian munculah dikotomi ilmu
pengetahuan Islam dengan umum. Kalau hal ini dibiarkan terus berkembang maka
akan membawa dampak negatif, misalnya teknologi nuklir bisa menjadi senjata
pemusnah yang seharusnya untuk kesejahteraan manusia. Oleh karena itu ilmu
pengetahuan Islam perlu direkonstruksi kembali dengan paradigma baru yaitu bahwa
ilmu pengetahuan Islam menggambarkan terintegrasinya seluruh sistem ilmu
pengetahuan dalam satu kerangka.
Ilmu pengetahuan Islam menggunakan
pendekatan wahyu, pendekatan filsafat, dan pendekatan empirik, baik dalam
pembahasan substansi ilmu, maupun pembahasan tentang fungsi dan tujuan ilmu
pengetahuan. Dengan rekonstruksi ilmu pengetahuan Islam tidak terkait lagi
adanya dikotomi antara ilmu pengetahuan Islam (syari’ah) dengan ilmu
pengetahuan umum, keduanya saling berhubungan secara fungsional (fungsional
Corelation)[17]
C.
Integrasi Keislaman Dalam Ilmu-Ilmu Umum
Setelah umat Islam mengalami
kemunduran sekitar abad XIII-XIX, justru pihak Barat memanfaatkan kesempatan
tersebut untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya dari
Islam sehingga ia mencapai masa renaissance. Ilmu pengetahuan umum
(sains) berkembang pesat sedangkan ilmu pengetahuan Islam mengalami kemunduran,
yang pada akhirnya munculah dikotomi antara dua bidang ilmu tersebut.
Tidak hanya sampai di sini tetapi
muncul pula sekularisasi ilmu pengetahuan. Namun sekularisasi ilmu pengetahuan
ini mendapat tantangan dari kaum Gereja. Galileo (L. 1564 M) yang dipandang
sebagai pahlawan sekularisasi ilmu pengetahuan mendapat hukuman mati tahun 1633
M, karena mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan pandangan Gereja.
Galileo memperkokoh pandangan Copernicus bahwa matahari adalah pusat jagat raya
berdasarkan fakta empiris melalui observasi dan eksperimen. Sedangkan Gereja
memandang bahwa bumi adalah pusat jagat raya (Geosentrisme) didasarkan
pada informasi bibel.[18]
Pemberian hukuman kepada para
ilmuan yang berani berbeda pandangan dengan kaum Gereja menjadi pemicu lahirnya
ilmu pengetahuan yang memisahkan diri dari doktrin agama. Kredibilitas Gereja
sebagai sumber informasi ilmiah merosot, sehingga semakin mempersubur tumbuhnya
pendekatan saintifik dalam ilmu pengetahaun menuju ilmu pengetahuan sekuler.[19]Sekularisasi
ilmu pengetahuan secara ontologis membuang segala yang bersifat religius dan
mistis, karena dianggap tidak relevan dengan ilmu. Alam dan realitas sosial
didemitologisasikan dan disterilkan dari sesuatu yang bersifat ruh dan spirit
dan didesakralisasi (di alam ini tidak ada yang sakral).
Sekularisasi ilmu pengetahuan dari
segi metodologi menggunakan epistemologi rasionalisme dan empirisme.
Rasionalisme berpendapat bahwa rasio adalah alat pengetahuan yang obyektif
karena dapat melihat realitas dengan konstan. Sedangkan empirisme memandang bahwa
sumber pengetahuan yang absah adalah empiris (pengalaman). Sekularisasi ilmu
pengetahuan pada aspek aksiologi bahwa ilmu itu bebas nilai atau netral,
nilai-nilai ilmu hanya diberikan oleh manusia pemakainya. Memasukkan nilai ke
dalam ilmu, menurut kaum sekular, menyebabkan ilmu itu “memihak”, dan dengan
demikian menghilangkan obyektivitasnya.
Kondisi inilah yang memotivasi para
cendekiawan muslim berusaha keras dalam mengintegrasikan kembali ilmu dan
agama. Upaya yang pertama kali diusulkan adalah islamisasi ilmu pengetahuan.
Upaya “Islamisasi ilmu” bagi kalangan muslim yang telah lama tertinggal jauh
dalam peradaban dunia moderen memiliki dilema tersendiri. Dilema tersebut
adalah apakah akan membungkus sains Barat dengan label “Islami” atau “Islam”? Ataukah
berupaya keras menstransformasikan normativitas agama, melalui rujukan utamanya
Al-Qur’an dan Hadis, ke dalam realitas kesejarahannya secara empirik? Kedua-duanya
sama-sama sulit jika usahanya tidak dilandasi dengan berangkat dari dasar
kritik epistemologis.
Dari sebagian banyak cendikiawan
muslim yang pernah memperdebatkan tentang Islamisasi ilmu, di antaranya bisa
disebut adalah: Ismail Raji Al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Fazlur
Rahman, dan Ziauddin Sardar. Kemunculan ide: “Islamisasi ilmu” tidak lepas dari
ketimpangan-ketimpangan yang merupakan akibat langsung keterpisahan antara
sains dan agama. Sekulerisme telah membuat sains sangat jauh dari kemungkinan
untuk didekati melalui kajian agama. Pemikiran kalangan yang mengusung ide
“Islamisasi ilmu” masih terkesan sporadis, dan belum terpadu menjadi sebuah
pemikiran yang utuh. Akan tetapi, tema ini sejak kurun abad 15 H, telah menjadi
tema sentral di kalangan cendekiawan muslim.
Upaya yang dilakukan adalah dengan
mengembalikan ilmu pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Hal ini dimaksudkan
agar ada koherensi antara ilmu pengetahuan dengan iman. Upaya yang lainnya,
yang merupakan antitesis dari usul yang pertama, adalah ilmuisasi Islam. Upaya
ini diusung oleh Kuntowijoyo. Dia mengusulkan agar melakukan perumusan teori
ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada Al-Qu’ran, menjadikan Al-Qur’an sebagai
suatu paradigma. Upaya yang dilakukan adalah objektifikasi.
Islam dijadikan sebagai suatu ilmu
yang objektif, sehingga ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dapat
dirasakan oleh seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin), tidak hanya untuk
umat Islam tapi non-muslim juga bisa merasakan hasil dari objektivikasi ajaran
Islam. Masalah yang muncul kemudian adalah apakah integrasi/islamisasi ilmu
pengetahuan keislaman, dengan ilmu-ilmu umum mungkin dilakukan dengan tetap
tegak diatas prinsip–prinsip tanpa mengacu pada pendekatan teologi normatif.
Moh. Natsir Mahmud mengemukakan beberapa
proposisi (usulan) tentang kemungkinan islamisasi ilmu pengetahuan,
sebagai berikut:
- Dalam pandangan Islam, alam semesta sebagai obyek ilmu pengetahuan tidak netral, melainkan mengandung nilai (value) dan “maksud” yang luhur. Bila alam dikelola dengan “maksud” yang inheren dalam dirinya akan membawa manfaat bagi manusia. “Maksud” alam tersebut adalah suci (baik) sesuai dengan misi yang diemban dari Tuhan.
- Ilmu pengetahuan adalah produk akal pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas fenomena di sekitarnya. Sebagai produk pikiran, maka corak ilmu yang dihasilkan akan diwarnai pula oleh corak pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena yang diteliti.
- Dalam pandangan Islam, proses pencarian ilmu tidak hanya berputar-putar di sekitar rasio dan empiri, tetapi juga melibatkan al-qalb yakni intuisi batin yang suci. Rasio dan empiri mendeskripsikan fakta dan al-qalb memaknai fakta, sehingga analisis dan konklusi yang diberikan sarat makna-makna atau nilai.
- Dalam pandangan Islam realitas itu tidak hanya realitas fisis tetapi juga ada realitas non-fisis atau metafisis. Pandangan ini diakui oleh ontologi rasionalisme yang mengakui sejumlah kenyataan empiris, yakni empiris sensual, rasional, empiris etik dan empiris transenden.[20]
Azyumardi Azra, mengemukakan ada
tiga tipologi respon cendekiawan muslim berkaitan dengan hubungan antara
keilmuan agama dengan keilmuan umum. Pertama: Restorasionis, yang
mengatakan bahwa ilmu yang bermanfaat dan dibutuhkan adalah praktek agama
(ibadah). Cendekiawan yang berpendapat seperti ini adalah Ibrahim Musa (Wafat,
1398 M) dari Andalusia. Ibnu Taymiah, mengatakan bahwa ilmu itu hanya
pengetahuan yang berasal dari Nabi saja. Begitu juga Abu Al-A’la Maududi,
pemimpin jamaah al-Islam Pakistan, mengatakan ilmu-ilmu dari Barat, geografi,
fisika, kimia, biologi, zoologi, geologi dan ilmu ekonomi adalah sumber
kesesatan karena tanpa rujukan kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Kedua:
Rekonstruksionis interprestasi agama untuk memperbaiki hubungan peradaban
modern dengan Islam. Mereka mengatakan bahwa Islam pada masa Nabi Muhammad dan
sahabat sangat revolutif, progresif, dan rasionalis. Sayyid Ahmad Khan (Wafat.
1898 M) mengatakan firman Tuhan dan kebenaran ilmiah adalah sama-sama benar.
Jamal Al-Din al-Afgani menyatakan bahwa Islam memiliki semangat ilmiah. Ketiga:
Reintegrasi, merupakan rekonstruksi ilmu-ilmu yang berasal dari al-ayah
al-qur’aniyah dan yang berasal dari al-ayah al-kawniyah berarti
kembali kepada kesatuan transendental semua ilmu pengetahuan.[21]
Kuntowijoyo menyatakan bahwa inti
dari integrasi adalah upaya menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu
Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu integralistik), tidak mengucilkan
Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia (other worldly asceticisme).[22]
Model integrasi adalah menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai grand theory
pengetahuan. Sehingga ayat-ayat qauliyah dan qauniyah dapat dipakai.[23]
Integrasi yang dimaksud di sini
adalah berkaitan dengan usaha memadukan keilmuan umum dengan Islam tanpa harus
menghilangkan keunikan–keunikan antara dua keilmuan tersebut. Terdapat
keritikan yang menarik berkaitan dengan integrasi antara ilmu agama dengan
sains: (1) Integrasi yang hanya cenderung mencocok-cocokkan ayat-ayat Al-Qur’an
secara dangkal dengan temuan-temuan ilmiah. Disinilah pentingnya integrasi
konstruktif dimana integrasi yang menghasilkan kontribusi baru yang tidak
diperoleh bila kedua ilmu tersebut terpisah. Atau bahkan integrasi diperlukan
untuk menghindari dampak negatif yang mungkin muncul jika keduanya berjalan
sendiri-sendiri. Tapi ada kelemahan dari integrasi, di mana adanya penaklukan,
seperti teologi ditaklukkan oleh sains.[24]
(2) Berkaitan dengan pembagian keilmuan,
yaitu qauniyah (Alam) dan qauliyah (Teologis). Kuntowijoyo mengatakan bahwa
ilmu itu bukan hanya qauniyah dan qauliyah tetapi juga ilmu nafsiyah. Kalau
ilmu qauniyah berkenaan dengan hukum alam, ilmu qauniyah berkenaan dengan hukum
Tuhan dan ilmu nafsiyah berkenaan makna, nilai dan kesadaran. Ilmu nafsiyah
inilah yang disebut sebagai humaniora (ilmu-ilmu kemanusiaan, hermeneutikal).[25]
Amin Abdullah memandang, integrasi
keilmuan mengalami kesulitan, yaitu kesulitan memadukan studi Islam dan umum
yang kadang tidak saling akur karena keduanya ingin saling mengalahkan. Oleh
karena itu, diperlukan usaha interkoneksitas yang lebih arif dan bijaksana.
Interkoneksitas yang dimaksud oleh Amin Abdullah adalah: “Usaha memahami
kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia.
Sehingga setiap bangunan keilmuan
apapun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak
dapat berdiri sendiri maka dibutuhkan kerjasama, saling tegur sapa, saling
membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antara disiplin keilmuan.[26]
Pendekatan integratif-interkonektif merupakan pendekatan yang tidak saling
melumatkan dan peleburan antara keilmuan umum dan agama. Pendekatan keilmuan
umum dan Islam sebenarnya dapat dibagi menjadi tiga corak yaitu: paralel,
linear dan sirkular.
·
Pendekatan paralel masing-masing
corak keilmuan umum dan agama berjalan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dan
persentuhan antara satu dengan yang lainnya.
·
Pendekatan Linear, salah satu dan
keduanya akan menjadi primadona, sehingga ada kemungkinan berat sebelah.
·
Pendekatan Sirkular, masing-masing
corak keilmuan dapat memahami keterbatasan, kekurangan dan kelemahan pada
masing-masing keilmuan dan sekaligus bersedia mengambil manfaat dari temuan-temuan
yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan yang lain serta memiliki kemampuan untuk
memperbaiki kekurangan yang melekat pada diri sendiri.[27]
Pendekatan integratif-interkonektif
merupakan usaha untuk menjadikan sebuah keterhubungan antara keilmuan agama dan
keilmuan umum. Muara dari pendekatan integratif-interkonektif menjadikan
keilmuan mengalami proses obyektivikasi dimana keilmuan tersebut dirasakan oleh
orang non Islam sebagai sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai
perbuatan keagamaan. Sekalipun demikian, dari sisi yang mempunyai
perbuatan, bisa tetap menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan, termasuk amal,
sehingga Islam dapat menjadi rahmat bagi semua orang.
Contoh konkrit dari proses
objektivikasi keilmuan Islam adalah Ekonomi Syariah yang prakteknya dan
teori-teorinya berasal dari wahyu Tuhan. Islam menyediakan etika dalam perilaku
ekonomi antara lain; bagi hasil (al-Mudarabah) dan kerja sama (al-Musyarakah).
Di sini Islam mengalami objektivitas dimana etika agama menjadi ilmu yang
bermanfaat bagi seluruh manusia, baik muslim maupun non muslim, bahkan arti
agama sekalipun. Kedepan, pola kerja keilmuan yang integralistik dengan basis
moralitas keagamaan yang humanistik dituntut dapat memasuki wilayah-wilayah
yang lebih luas seperti psikologi, sosiologi, antropologi, kesehatan,
teknologi, ekonomi, politik, hubungan internasional, hukum dan peradilan dan
seterusnya.
Perbedaan pendekatan
integrasi-interkoneksi dengan Islamisasi ilmu adalah dalam hal hubungan antara
keilmuan umum dengan keilmuan agama. Kalau menggunakan pendekatan Islamisasi
ilmu, maka terjadi pemilahan, peleburan dan pelumatan antara ilmu umum dengan
ilmu agama. Sedangkan pendekatan integrasi interkoneksi lebih bersifat
menghargai keilmuan umum yang sudah ada, karena keilmuan umum juga telah
memiliki basis epistemologi, ontologi dan aksiologi yang mapan, sambil mencari
letak persamaan, baik metode pendekatan (approach) dan metode berpikir (procedure)
antar keilmuan dan memasukkan nilai-nilai keilmuan Islam ke dalamnya, sehingga
keilmuan umum dan agama dapat saling bekerja sama tanpa saling mengalahkan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat diambil
suatu kesimpulan bahwa dalam mengintegrasikan ilmu-ilmu keislaman ke dalam
ilmu-ilmu umum sebaiknya mengacu kepada perspektif ontologis, epistemologis dan
aksiologis.
·
Dari perspektif ontologis, bahwa
ilmu itu pada hakekatnya, adalah merupakan pemahaman yang timbul dari hasil
studi yang mendalam, sistematis, obyektif dan menyeluruh tentang ayat-ayat
Allah SWT baik berupa ayat-ayat qauliyyah yang terhimpun di dalam Al-Qur’an
maupun ayat-ayat kauniyah yang terhampar dijagat alam raya ini. Karena
keterbatasan kemampuan manusia untuk mengkaji ayat-ayat tersebut, maka hasil
kajian/pemikiran manusia tersebut harus dipahami atau diterima sebagai
pengetahuan yang relatif kebenarannya, dan pengetahuan yang memiliki kebenaran
mutlak hanya dimiliki oleh Allah SWT.
·
Dari perspektif Epistemologi,
adalah bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi diperoleh melalui usaha yang
sungguh-sungguh dengan menggunakan instrumen penglihatan, pendengaran dan hati
yang diciptakan Allah SWT terhadap hukum-hukum alam dan sosial (sunnatullah).
Karena itu tidak menafikan Tuhan sebagai sumber dari segala realitas termasuk
ilmu pengetahuan dan teknologi.
·
Dari perspektif aksiologi, bahwa
ilmu pengetahuan dan teknologi harus diarahkan kepada pemberian manfaat dan
pemenuhan kebutuhan hidup umat manusia. Bukan sebaliknya, ilmu pengetahuan dan
teknologi digunakan untuk menghancurkan kehidupan manusia. Perlu disadari bahwa
ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bagian dari ayat-ayat Allah dan merupakan
amanat bagi pemiliknya yang nantinya akan dimintai pertanggung jawaban di
sisi-Nya.
Integrasi ilmu umum terhadap ilmu
agama berarti pula islamisasi ilmu pengetahuan. Integrasi dilakukan
dengan mengekplorasi Al-Quran dan Hadits untuk menjadikan landasan keilmuan.
Mekanismenya adalah dengan mengkaji nilai-nilai Islam yang berkaitan dengan
ilmu-ilmu umum atau persoalan-persoalan yang muncul dari persoalan social
budaya, pendidikan, poliyik dan ekonomi dalam rangka menciptrakan ilmu yang
koheren dengan ajaran agama dan memberikan alternative kebenaran yang bukan
hanya kebenaran empiris, tetapi bermuara pada Al-Quran dan Hadits, sehingga
menjadi tolak ukur untuk menilai kebenaran dan kesalahan.
B.
Saran
Kontribusi pemikiran integrasi
keislaman dengan ilmu-ilmu umum didasarkan kepada landasan agar konsep
keislaman menjadi ruh dan core dalam teori dan praktek penyelenggaraan
pendidikan sehingga bebas nilai.
Berikut kami sampaikan beberapa pertimbangan dan saran kepada
unsur-unsur atau komponen yang terlibat dan peduli terhadap eksistensi dan
perkembangan lembaga pendidikan.
1.
Berusaha mengembangkan kurikulum
yang bermuatan materi-materi yang memiliki rujukan nash al-qur’an.
2.
Meningkatkan mutu akademik dalam
proses pengembangan keilmuan melalui proses pembelajaran yang tidak hanya
dikaitkan dengan spesifikasi output, tetapi juga dengan proses pembelajaran
yang efektif, efisien, produktif, akuntabel serta adaptif dengan perubahan dan
pendekatan wahyu.
3.
Meningkatkan kemampuan intelektual,
emosional dan spiritual guru selaku tenaga kependidikan melalui pengayaan dan
pendalaman khasanah-khasanah ilmu Islam.
4.
Bagi peserta didik dituntut
memiliki kesungguhan dan peran maksimal dalam kegiatan belajar dengan menguasai
dalil-dalil al-qur’an sebagai rujukan belajar dan menguasai teori-teori
keilmuan.
DAFTAR PUSTAKA
·
Achmad Ramzy, Mengintegrasikan
Ilmu Pengetahuan Dan Ilmu Agama, Perta: 2004
·
Arief, Armai. Reformasi
Pendiidkan Islam, Cet. I, Jakarta: CRSD Press, 2005.
·
Azra, Azyumardi. Reintegrasi
Ilmu-Ilmu, Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi,
Bandung: Mizan, 2005.
·
Bagir, Zainal Abidin , Integrasi
Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi, Bandung: Mizan, 2005.
·
Departemen Agama RI, Alquran dan
Terjemahnya, (Madinah Al-Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thibaat
al-Mushhaf al-Syarief, 1418 H.
·
Fayid, Syeikh Mahmud Abdul Wahab, Al-Tarbiyah
Fie Kitab Allah, diterjemahkan Drs. Judi Al-Falasany, “Pendidikan Dalam
Alquran”, Semarang: Penerbit CV. Wicaksana, 1989.
·
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu,
Cet. II, Jakarta; Penerbit: Teraju, 2005.
·
Said, Nurman. dkk, Sinergi Agama
dan Sains, (ed) Cet I; Makassar: Alauddin Press, 2005.
·
Shihab, M. Quraish. Membumikan
Alquran, Cet. I, Bandung: Penerbit Mizan, 1992
·
Suriasumantri, Jujun S. Ilmu
Dalam Perspektif Moral, Sosial dan Politik, Jakarta: Gramedia, 1986.
·
Zuhairini dkk, Sejarah
pendidikan Islam, Jakarta: Bumi aksara, 1994.
[2]Nurman
Said, dkk, Sinergi Agama dan Sains,
Makassar: Alauddin Press, 2005), hal. 36
[4] Amin
Abdullah, Prof.DR.H.M. dkk, Islamic Stadies dalam Paradigma
Integrasi-Interkoneksi, Yogyakarta:
Penerbit Suka Press, 200, hal. 33.
[5] Zuhairini
dkk, Sejarah pendidikan Islam, Jakarta: Bumi aksara, 1994, hal. 106.
[9] Etin Anwar,
integrasi ilmu umum dengan ilmu agama, Bandung: Gunung Djati Press, 2006, hal
349.
[10] Departemen
Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Madinah Almunawwarah: Mujamma’
al-Malik Fahd Li Thibaat al-Mushhaf al-Syarief, 1418 H, hal. 1079.
[11] Syeikh
Mahmud Abdul Wahab Fayid, Pendidikan Dalam Alquran Semarang: Penerbit
CV.Wicaksana, 1989, hal. 23-24.
[15]Shaleh
Putuhena, Ke Arah Rekonstruksi Sains Islam, Nurman Said, Wahyuddin
Hakim, Muhammad Sabri, op.cit, hal.107
[16]. Amin
Abdullah, Prof. Dr.H.M dkk, op.cit; hal. 27.
[19] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam
Perspektif Moral, Sosial dan Politik, (Jakarta: Gramedia, 1986), hal.
3.
[20] Prof.DR. Moh. Natsir Mahmud, Landasan
Paradigmalik Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Nurman Said, Wahyuddin Halim
Muhammad Sabri, Op.cit; hal. 129.
[23] Imam Suprayogo, Membangun Integrasi Ilmu
dan Agama, Pengalaman UIN Malang: op,cit,
hal. 49 – 50.
[24] Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu dan
Agama, Interprestasi dan Aksi, Bandung: Mizan, 2005) hal, 50-51.
[26]Amin Abdullah Prof.Dr,
Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif,
(Cet.I, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2006), hal. VII-VIII.
No comments:
Post a Comment